“Bintang–bintang yang kamu lihat itu adalah bintang-bintang yang sama dengan bintang-bintang yang dilihat orang-orang dari sepuluh ribu tahun yang lalu.” “Berarti bintang-bintang itu pernah dilihat oleh Nabi Muhammad ya?” “Iya…” “Berarti nabi Musa, nabi Nuh, Fir’aun, Herkules, mereka semua melihat bintang-bintang yang sama dengan yang kulihat sekarang. “Benar, bayangkan, kita melihat bintang-bintang yang disaksikan orang zaman dulu, kemarin, dan mungkin juga besok. Bintang yang akan dilihat anak cucu kita adalah bintang-bintang yang itu juga. Sungguh menakjubkan bagaimana bintang-bintang itu menghubungkan kita. Benda bersejarah setua apapun akan berubah karena manusia menyentuhnya, tetapi bintang-bintang itu tak berubah karena mereka tak tersentuh tangan kita.” “Bintang-bintang itu luar biasa ya.” “Sungguh luar biasa, bintang-bintang itu menyaksikan kejadian di bumi masa demi masa,itu sebabnya bintang begitu misterius, karena ia menyimpan begitu banyak rahasia dari apa yang dilihatnya di bumi kita.” “Itu sebabnya kamu menyukai bintang?” “Ada banyak alasan untuk menyukai bintang.”
Kami dipertemukan oleh bintang, dan kelak aku akan tahu kalau kamipun akan dipisahkan oleh bintang. Usia kami terpaut beberapa tahun. Aku kelas 6 SD saat mengenalnya sebagai pendatang baru di kampung kami. Saat itu dia duduk di SMP kelas 2. Orang tuanya adalah pengusaha perkebunan yang kaya. Ribuan hektar tanah di sebelah kampung kami adalah tanah orang tuanya. Dia dikeluarkan dari sekolahnya di kota karena berkelahi dan membuat lawannya masuk rumah sakit. Waktu ayahnya ingn memindahkannya ke sekolah lain di kota yang sama, ia menolak dan meminta untuk dipindahkan ke sekolah di kampungku.
Ia tinggal dengan pak Umar, pengawas kebun ayahnya. Beberapa bulan sejak kedatangannya, dia tak kunjung akrab dengan anak muda di kampungku. Jelas terlihat mereka segan berakrab-akrab dengannya, selain karena mereka tahu ia anak pemilik kebun, mereka juga tahu kasus pemukulan yang menyebabkannya dikeluarkan dari sekolah, ditambah lagi dia juga nampak lebih suka menyendiri. Aku sering melihatnya membaca buku di teras rumah pak Umar, atau jika malam, aku melihatnya meneropong langit dari loteng rumah pak Umar yang terbuka. Sendirian. Aku tak begitu tertarik dengan kebiasaannya membaca buku, tapi kebiasaannya meneropong langit malam sungguh membuatku bertanya-tanya, apa yang sedang dilihatnya melalui teropong itu? Meski begitu tertarik, aku seperti anak-anak lainnya, tetap tak berani menegurnya apalagi berteman dengannya.
Hampir setahun sejak kedatangnnya di kampungku saat malam itu untuk pertama kalinya kami bertegur sapa. Saat itu aku duduk di kelas 1 SMP. Malam itu malam bulan Ramadhan. Aku begitu kesal dengan teman-temanku, Yandi dan Eko yag meninggalkanku seusai sholat tarawih, padahal malam itu kami sepakat menyalakan petasan di bukit belakang rumah Yandi. Kurasa mereka sengaja meninggalkanku. Mereka cuma ingin menyalakan petasan berdua saja.” Kekesalanku mengubun-ubun, akhirnya aku menangis di tengah perjalanan pulang. Aku nyaris berlari ketakutan saat kudengar seseorang berbicara di atas pohon di pinggir jalan. Awalnya kukira itu makhluk halus atau semacamnya sampai kusadar kalau itu dia.
“Teman-temanmu baru saja pergi, tak terlalu jauh untuk kau susul. Kau tak perlu sekesal itu dengan mereka.” Kudongakkan kepalaku dan menemukan sumber suara itu, dia duduk menjuntaikan kaki di atas pohon yang tak terlalu tinggi itu. “Aku tak mau, mereka sengaja meninggalkanku. Buat apa aku menyusul mereka? Tapi darimana kamu tahu kalau aku kesal dengan mereka?” “Perlahan dia melompat turun dari atas pohon. “Mereka tadi metertawakanmu.” Kekesalanku kembali, “Mereka jahat…” Aku hampir saja menangis lagi sampai dia meraih tanganku, “Sudahlah jangan cengeng. Begini saja, kau ikut saja denganku. Akan kutunjukkan sesuatu yang menarik, kau mau?” Aku mengangguk, kami lalu berjalan bersisian.
“Aku akan mengajakmu melihat bintang, dengan teropongku. Aku tahu kau selalu mengamatiku jika kau di lotengnya pak Umar.” “Iya. Jadi itu sebabnya kamu ada di atas pohon itu. Ingin meneropong ya?” “Tidak juga, mmm, sebenarnya iya sih. Aku mencoba-coba meneropong dari situ. Rencananya, sepulang tarawih ku ingin meneropong dari atas pohon mangga tadi, tapi ku mendengar tangisanmu…Masa anak lelaki menangis.” Dia tersenyum, aku tertunduk malu. Sosoknya kokoh menjulang padahal dia baru kelas 3 SMP, tak heran teman yang pernah dia pukuli dulu masuk rumah sakit. Ingat itu aku jadi ketakutan sendiri. Apa yang sedang kulakukan. Mengapa aku iyakan saja mengikutinya.
“Namaku Najmun. Namamu Ardi bukan?” “Iya, kamu tahu namaku ya, aku juga tahu namamu Najmun. Dari dulu aku berpikir, namamu aneh.” Dia tersenyum, “Dalam bahasa Arab, namaku artinya bintang. Kau tahu kenapa aku dinamakan Najmun. Ibuku bilang aku dilahirkan malam hari. Saat lahir tangisku begitu keras, aku baru berhenti menangis saat ayah memabawaku keluar rumah. Ibu bilang aku diam saat ayah menunjuk langit malam yang penuh bintang.”
Kami masuk ke kamar Najmun lewat samping rumah pak Umar. Kamar Najmun sengaja dibuat agak terpisah dari rumah utama pa Umar agar Najmun mudah keluar masuk. Tangga menuju loteng rumah pak Umar berada tepat di depan kamar Najmun. Sebelum naik ke loteng, Najmun mengajakku ke kamarnya. Kamar termewah yang pernah kulihat, setidaknya untuk ukuran kampung. Sebuah tempat tidur busa, televisi, kulkas, komputer. Sungguh kamar yang menyenangkan. Kamar itu dicat biru cerah, seprai tempat tidur juga berwarna biru malam. Kurasa Najmun penyuka warna biru.
“Kita ambil makanan kecil dulu. Ini pegang teropongku, ku yakin kau ingin memegangnya dari dulu,” ucap Najmun lantas membuka kulkas. Aku tahu apa itu teropong, sebuah benda yang bisa membuat kita melihat sesuatu yang jauh jadi terasa dekat, jelas dan besar. Tapi baru kali ini aku memegangnya. Teropong Najmun berat dan besar. Sepertinya lapisan luar teropong terbuat dari kulit.
“Kita akan merasa seperti titik yang begitu kecil di semesta milik Allah saat kita melihat bintang, langit yang luas, udara malam yang bersih…” Dia bicara sambil menoleh padaku di bawah saat kami menaiki tangga menuju loteng. “Nah, selamat datang di langit lepas. Gimana? Kesalnya sudah hilang?” pertanyaannya mengingatkanku kembali pada Yandi dan Eko yang sudah mulai kulupakan sejak aku mengikutinya. “Sudah tidak lagi. Apa yang kita lakukan di sini? Cuma melihat langit?” Aku mengikutinya duduk di pinggiran loteng, kami juntaikan kaki kami.
“Iya, kita cuma melihat langit. Langit yang begitu luas. Coba lihat, bintangnya banyak sekali.” “Iya…” “kamu perlu tahu, pelaut-pelut zaman dulu cuma mengandalkan bintang sebagai penunjuk jalan saat berada di tengah laut lepas. Tak ada kompas, tak ada sinyal, tak ada jejak apapun.” “Cuma mengandalkan bintang?” “Iya, bintang. Sekarang, coba kau lihat bintang-bintang itu, mereka punya kumpulannya sendiri, namanya rasi bintang.” “Iya, aku pernah dengar tentang itu.” “Coba kau lihat, itu ras bintang Beruang Besar, rasi bintang yang paling sering kita lihat dari belahan bumi kathulistiwa ini.” Dia menunjuk sekumpulan bintang yang membentuk pola segi empat tidak teratur ditambah tiga deret bintang di dekatnya.
Dia menjelaskan beberapa rasi bintang lain, tetapi kelak aku paling ingat dengan rasi bintang Beruang Besar karena itu adalah rasi bintang pertama yang dtunjukkkannya padaku. Perasaanku perlahan berubah, aku mulai mengerti mengapa ia begitu menyukai bintang, ia bercerita banyak tentang bintang.
“kalau kau di laut lepas, di ujung langit kau mungkin akan menemukan bintang polaris.” Dia memandangiku dan merasa kalau aku bertanya padanya apa itu bintang polaris. “Polaris adalah bintang terang yang letaknya persis di atas kutub utara bumi. Polaris sering disebut sebagai bintang kutub. Berdasarkan peta langit, polaris berada di satu derajat kutub langit.” Aku mulai mengernyit, “Peta langit? Kutub langit?” “He he he. Jangan bengong gitu ah. Ahli perbintangan punya peta langit yang memetakan letak bintang-bintang. Peta itu dibuat berdasarkan letak bintang terlihat dari bumi. Kutub langit tepat di atas kutub bumi.”
Aku pulang setelah sekitar dua jam berbincang dengan Najmun di loteng rumah pak Umar. Malam itu malam pertamaku bersamanya. Sejak malam itu pula aku mulai menyukai bintang dan kelak aku mulai sering menghabiskan malam di loteng rumah pak Umar.
“kau tahu matahari itu bintang?” Aku hampir sampai di depan rumahku saat ia bicara sambil menjejeri langkahku. “Lho, kau nggak pakai sepeda? Kenapa jalan, biasanya pakai sepeda?” Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah langsung duduk di teras rumahku. “Sebenarnya aku mau pulang jalan bareng kamu, tapi lupa bilang tadi malam. Pas kucari-cari d kelasmu kau sudah pulang. Aku ingin sekali jalan kaki bersama teman baruku.” Teman baru…ya, meski sudah setahun lebih ia di kampungku, kami baru saja berteman. Namun aku teringat lagi tentang ayahnya yang kaya, temannya yang masuk rumah sakit karena dipukulnya. Aku jadi ragu.
“Aku tak pernah melihatmu mengajak teman- teman sekolahmu ke rumah pak Umar.” Aku bicara sambil duduk di sampingnya. Pertanyaanku membuatnya tersenyum. “kau seperti tidak tahu saja, mana ada yang mau akrab denganku. Ayahku pemilik kebun di sebelah kampung kalian, lagipula mereka mungkin takut padaku karena kau pernah memukul orang sampai masuk rumah sakit. Kau juga demikian bukan?” Aku menelan ludah, seolah dia tahu apa yang kupikirkan. “Oke, selepas sholat zuhur kalau kau tidak sibuk, main saja ke kamarku.” Najmun beranjak meninggalkanku. Dia terus saja tersenyum meski matanya tak terlihat karena tertutup poni rambutnya.
Kamar Najmun terasa sejuk meski di luar begitu panas. “Matahari itu bintang?” pertanyaanku itu seakan menyadarknnya pada ucapannya tadi tentang matahari.” “Matahari itu bintang paling dekat dengan bumi. Nanti kau akan mempelajarinya di sekolah.” “Kau banyak tahu ya,” Aku memandangnya dengan beragam perasaan, antara takjub dan juga iri. “Aku banyak membaca saja.” “Kau kaya, gampang beli buku.” Pernyataanku mengubah raut wajahnya. Ia merengut, sepertinya tak senang. “Aku tak minta ditakdirkan sebagai orang kaya. Kita tidak bisa memilih siapa orang tua kita.” Ucapannya mengagetkanku. Ada apa dengn hidupnya? “kau ini aneh, kalau aku bisa memilih, tentu saja aku memilih lahir sebagai anak orang kaya sepertimu.” “Hehh, kekayaan yang didapat dengan menghancurkan bumi. Kau tak pikir sudah berapa hutan yang dibabat habis oleh ayahku untuk dijadikan kebun? Sudah berapa kampung yang dirusak olehnya cuma agar ia bisa tambah kaya. Kau tahu betapa luar biasanya bumi kita? Satu-satunya planet yang punya komposisi yang memungkinkan untuk sebuah kehidupan, air, oksigen, nitrogen, cuaca. Dan ayahku menghancurkannya. Aku membencinya tapi ia ayahku. Oh ya, dan kau tahu mengapa aku memukul temanku sampai masuk rumah sakit? Karena ia dengan bangganya bercerita bahwa ia berhasil mengipasi paman penyapu jalan depan sekolah kami dengan asap knalpot motor barunya padahal paman itu yang setiap hari membuat jalan yang dia lalui untuk ke sekolah jadi bersih.”
Waktu dia menceritakan itu aku cuma bisa mengangguk sambil tetap berpikir dalam hati bahwa ia beruntung jadi orang kaya dan pikirannya tentang ayahnya terlalu berlebihan. Tapi suatu waktu akhirnya aku sadar bahwa Najmun saat itu sedang bertarung dengan takdir dan keyakinannya. Beban yang begitu menghimpit untuk anak seusianya.
Kami masih terus membicarakan bintang. Malam itu seperti malam-malam biasanya. Saat itu kami berbaring saja di loteng itu. Dia bercerita tentang Supernova. “Tak ada yang abadi, begitu pula bintang. Suatu saat bahan bakar bintang akan habis. Kau tahu Di, kata ahli bintang, inti bintang adalah besi. Saat bahan bakar bintang utuk bersinar habis, inti bintang akan lebih memanas, meleburkan semua unsur di bintang yang lebih ringan dari besi. Setelah semua lebur di inti bintang maka bintangnya sendiri juga akan lebur, lalu bummm…terjadilah Supernova, ledakan bintang.” Aku diam mendengarkannya dengan seksama. “Lalu?” “Lalu…?” “Iya, apa yang terjadi dengan bintang itu?” Najmun menjawab dengan ekspresi menakut-nakuti, “Dia akan berubah mejadi lubang hitam. Lubang hitam itu menghisap cahaya apapun yang ada di dekatnya. Konon, tak ada benda apapun di dekatnya yang bisa lolos dari hisapan lubang hitam.” Aku merasa sedikit ketakutan.
Saat aku akan pulang, dia memberikan teropongnya padaku, “Ambillah. Bintang saja bisa tamat riwayatnya, apalagi kita. Aku ingin kau tahu, aku sangat beruntung memiliki teman sepertimu, Ardi. Tahukah kau kalau namamu dalam bahasa Arab berarti Bumi? Bintang dan bumi. He he he. Selamat malam teman.” Aku merasa saat itu ucapannya begitu aneh. Seperti sebuah ucapan perpisahan. Aku pulang ke rumah dengan menenteng teropong Najmun. Aku tidur dengan ketidakmengertianku tentang ucapan terakhirnya.
Keesokan harinya keherananku terjawab. Aku tak menemukan Najmun di sekolah. Saat kutanya teman-teman sekelasnya mereka tidak tahu. Saat pulang, ayah menyerahkan titipan Najmun berupa satu kardus buku-bukunya. Ayah bilang kalau Najmun pulang ke rumah ayahnya, pak Umar sekeluargapun ikut dengan Najmun. Mereka semua seperti lenyap ditelan bumi. Belakangan aku tahu kalau mereka semua diamankan ayah Najmun karena beberapa bulan kemudian ayah Najmun mulai mencoba mengambil tanah penduduk kampungku dengan membujuk untuk membelinya, namun karena diacuhkan penduduk kampung dia mulai mempersengketakan tanah kami dengan alasan tanah adat kami tak punya surat-surat tanah yang lengkap. Pelan-pelan aku bisa mengerti dan merasakan kebencian Najmun pada ayahnya, dan aku akhirnya juga membenci ayahnya. Aku tumbuh dewasa di antara sengketa tanah yang tak kunjung selesai. Antara semangat mempertahankan tanah adat penduduk kampungku dan keserakahan ayah Najmun.
…
Taman ini akan ramai selepas Isya. Walikota merenovasi air mancur di tengah taman sehingga nampak begitu indah di malam hari. Lampu-lampu hias yang membentuk pola bunga teratai di sekeliling air mancur membuat air mancur begitu menakjubkan. Menurutku renovasi itu sebuah pemborosan, namun sepertinya penduduk kota menyukainya. Aku menyempatkan pergi ke taman ini hampir tiap malam. Aku menyempatkan duduk sebentar di kursi taman, melihat bintang.
Sudah 12 tahun berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Najmun. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya, tapi aku selalu teringat pada. Aku sudah coba mencarinya saat kuliah di kota yang sama dengan tempat tinggalnya, tapi orang di rumahnya bilang dia sudah pindah keluar negeri. Aku kehilangan jejaknya. Mungkinkah dia sudah menjadi seorang astronom seperti cita-citanya.
Kulihat langit, dengan mudah kutemukan rasi bintang Beruang Besar. Ku terus mengamati langit sampai seseorang berbicara dengan kalimat yang terasa akrab di telingaku. “Bintang-bintang itu adalah bintang-bintang yang sama sejak sepuluh ribu tahun yang lalu.” Ku cari sumber suara itu, dan itu bukan suara Najmun. Itu suara seorang wanita. “Maaf, anda bilang bintang-bintang itu tak berubah sejak sepuluh ribu tahun lalu?” Kuulangi ucapannya, wanita itu mengangguk sambil tersenyum. Wajahnya tirus tapi menyiratkan kecerdasan, rambutnya tertutup kerudung warna putih. Wanita cantik. Ia lantas duduk di sampingku.
“Ucapan Anda mengingatkan saya pada seseorang.” Ujarku. Dia berbicara tanpa memandang ke arahku, “Aku sering melihatmu di taman ini. Memandangi langit, kadang dengan teropong. Anda juga mengingatkan saya pada suami saya.”
Lalu seperti ada bisikan yang begitu pelan yang terngiang-ngiang di benakku, perasaan yang kuat muncul hingga membuatku mengucapkan nama itu. Seperti sebuah pemahaman abstrak yang tiba-tiba muncul, “Najmun.” “Iya, Najmun. Mulkan Najmun, dia suami saya. Anda mengenalnya? Dari mana anda tahu tentangnya? Anda siapa?” Wanita itu jelas sekali terkejut. Matanya yang agak letih membelalak kaget. Demikian pula aku. Takdir telah membawaku lagi pada temanku di masa lalu. “Sya mencarinya bertahun-tahun. Bagaimana keadaannya?”
Aku dan Marina, wanita itu berjanji bertemu di tempat ini, sebuah kompleks pekuburan. Sulit sekali menerima kenyataan. Marina menunjukkan padaku makam suaminya. Lelaki yang selama 12 tahun ini kucari-cari. Lelaki yang senang sekali membicarakan bintang. Lelaki yang mengajariku menyukai bintang dan menghargai alam. Mengubah cara pandangku terhadap kehidupan. Membuatku tangguh menjadi pembela penduduk kampungku lalu menguatkan tekadku untuk mejadi seorang pengacara perdata bagi penduduk yang tanahnya digasak.
Dari Marina aku tahu perjalanan hidup Najmun yang memilukan. Dia bercerita bahwa setelah usaha perampasan tanah kampungku, Najmun tambah membenci ayahnya. Dia lalu minta dikirm ke Bonn, Jerman. Ayahnya pikir dia akan mendalami ilmu astronomi di sana, tapi ia malah memutus kontak dengan keluarganya. Najmun hidup luntang lantung di negeri itu sampai akhirnya bertemu Marina yang mendapat beasiswa kuliah di Berlin. Mereka menikah lalu pulang ke tanah air. Namun, sebelum Najmun sempat menata ulang hidupnya, dia meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas tiga tahun lalu. Hatiku tambah sakit saat ku tahu dia kecelakaan dalam sebuah bis yang ditumpanginya menuju kampungku pada suatu malam yang cerah. Marina bilang Najmun sering bercerita tentangku.
Malam ini, bintang-bintang masih tetap sama. Langit malam ini tak begitu cerah, namun aku masih melihat beberapa bintang. Najmun pernah bilang bintang terdekat dengan bumi setelah matahari adalah centauri. Mungkin saja itu bintang yang sekarang sedang bersinar di atas sana. Seperti juga dia pernah bilang jika aku ingat padanya, aku harus mencari bintang paling terang karena dialah bintang paling terang itu…
Life just like this, for the brighter star
Rabu, Oktober 31, 2007
LELAKI YANG SENANG MEMBICARAKAN BINTANG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
Cerpen yang bagus...Minta izin untuk posting di blog saya. Saya termasuk yang senang membicarakan bintang.ashiri
salam kenal..izin juga untuk posting di blog saya..saya suka dengan bintang polaris..
cerita ny ngingetin aku ama sebuah novel yg bener2 ak suka...
walaupun gak terlalu mengerti bintang, tapi aku mulai menyukai nya..
ceritanya sedih, tp bikin kita tambah tegar *crying*
thumbs up (y)
Posting Komentar