Jumat, November 02, 2007

47 TAHUN UNLAM: ANTARA ‘MODERNITAS’ DAN KETERTINGGALAN

Tanggal 1 November 2007, sudah 47 tahun Unlam menjadi universitas negeri. Momen menjadi Universitas Negeri inilah yang diperingati sebagai Dies Natalis Unlam. Tapi sepertinya perayaan rutin tahunan ini tahun ini akan tenggelam oleh satu perhelatan nasional di mana Unlam menjadi tuan rumah, apalagi kalau bukan Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (Pomnas) yang Opening ceremony-nya menghadirkan Presiden Republik Indonesia yang tampan, Susilo Bambang Yudhoyono.
Bagi mayoritas masyarakat, memang luar biasa prestasi Unlam untuk mampu menjadi tuan rumah Pomnas yang sejauh ini berjalan dengan lancar. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi Universitas yang tidak masuk 50 Universitas unggulan Indonesia ini. Persiapan yang dilakukan luar biasa, melibatkan semua unsur masyarakat Kalsel khususnya para Birokrat. Even Pomnas tidak lagi cuma menjadi milik Unlam tapi menjadi milik Kalsel. Mungkin itu sebabnya poster besar Gubernur Rudi Arifin terpampang di depan gedung Sultan Suriansyah yang artinya Pemprov dalam even ini berkontribusi besar ya). Pomnas di Kalsel menjelma PON dalam tanda kutip karena antusiasme yang cukup besar dalam penggarapannya meski fasilitas olahraga di Kalsel bisa dikatakan masih minim secara kuantitas dan kualitas.
Unlam, Unlam yang mengagumkan. Rasanya tak tepat lagi idiom ’Universitas Lambat maju’ masih ditempel di belakang nama besar Unlam. Iya toh. Mari kita tengok baik-baik. bagaimana tanah lapang yang ditumbuhi semak disulap menjadi taman yang asri. Kita juga bisa melihat pembangunan fisik lain yang signifikan beberapa tahun terakhir: pagar depan Unlam, pembangunan gedung-gedung baru di FKIP, pengadaan armada bus, peremajaan beberapa bangunan. Bukankah Unlam sudah melangkah begitu jauh?
Belum lagi kemajuan bidang non-infrastruktur, kerjasama dengan Universitas Utara Malaysia itu sungguh luar biasa, mahasiswa bisa S2 di Malaysia dengan kemudahan di luar perkiraan. Pengadaan teknologi informasi dengan terwujudnya Hotspot area di beberapa tempat di Unlam sehingga memudahkan mahasiswa mengakses internet. Bukankah itu sesuatu yang harus diapresiasi? Belum lagi kerjasama Unlam baik dengan BUMN maupun BUMS, meski saya tidak tahu kerjasama itu dengan siapa saja dan menghasilkan apa saja tapi yang jelas Unlam luar biasa.
Atas nama modernitas Pendidikan dan keinginan untuk sama seperti Universitas lain yang terlihat begitu maju dan modern. Maka, begitu jelaslah platform pembangunan Unlam menuju kemandirian Universitas, sebuah persiapan untuk menjadi BHP yang masih debatable itu).
Tapi benarkah semua ini? Benarkah Unlam telah menjelma sebagai Universitas modern dan berkualitas? Benarkah suatu kesalahan besar meniadakan Unlam di antara 50 Universitas unggulan Indonesia? Sudah benarkah penerapan kebijakan strategis Unlam yang beberapa tahun terakhir ini dilaksanakan?
Mari sekarang benar-benar kita berkontemplasi. Buat saya pribadi, yang paling mencerminkan kualitas, kapabilitas dan iklim sebuah lembaga pendidikan termasuk Unlam adalah mereka yang dididik di sana, dalam hal ini mahasiswa Unlam-nya. Jika sekarang kita takar mahasiswa Unlam, bisakah kita mengambil kesimpulan bahwa Unlam telah cukup bagus?
Secara umum, mahasiswa Unlam mempunyai kualifikasi sebagai berikut: (1). Minat baca rendah, (2). Penguasaan pada perkembangan disiplin ilmu yang dipelajari rendah, (3). Tidak peka pada persoalan-persoalan yang ada di lingkungan sekitar dan masyarakat, (4). Daya juangnya rendah.
Jika mereka punya minat baca yang tinggi, maka mahasiswa Unlam akan serentak protes saat perpustakaan di kampus mereka cuma punya koleksi buku-buku yang sedikit dan tua pula. Jika mereka punya minat baca yang tinggi maka mahasiswa Unlam akan sering terlihat dalam keadaan membaca, bukannya sering kedapatan ngobrol dengan materi obrolan yang tiidak bermutu untuk ukuran mahasiswa.
Ada banyak mahasiswa Unlam yang IPK-nya di atas 3,00, mereka cumlaude. Namun, ternyata gagap dalam aplikasi keilmuan. Sebagian besar disebabkan mereka belajar ilmu yang begitu-begitu saja dengan sumber yang terbatas dan benar-benar text book. Misalnya saja, ketika mempelajari sejarah sastra Indonesia, mereka cuma mempelajari sastrawan-sastrawan yang masuk kanon sastra atau cuma mempelajari peristiwa-peristiwa ’pertarungan’ Manikebuis dan Lekrais –saja. Padahal sastra tak cuma itu. Harusnya mereka mencari di luar itu dan yang tak kalah penting adalah tahu ke mana perkembangan sastra sekarang. Sama saja seperti ilmu-ilmu yang lain, mahasiswa harus tahu perkembangan ilmu dan bersikap kritis.
Mahasiswa Unlam juga cenderung cuek (tapi ini juga jadi problematika sebagian besar mahasiswa Indonesia), selama mereka tidak merasa dirugikan oleh suatu hal, mereka cenderung betah cuma jadi penonton. Parahnya lagi, kecuekan para mahasiwa ini begitu ironis. Pada hal-hal besar seperti korupsi birokrat kampus atau keterpurukan perpustakaan sampai kenaikan harga minyak dunia mereka dengan mudah cuek, tapi jika sudah berkenaan dengan putus cinta, tonton menonton film atau sinetron, gosip artis, mereka bisa menjadi sangat serius.
Aktivis mahasiswa juga adalah barang langka di Unlam. Kalaupun ada daya juangnya rendah dan tidak punya sistem yang kuat, juga tidak punya konsistensi perjuangan yang jelas. Perjuangan mahasiwa Unlam mudah dipatahkan bahkan meski itu terasa begitu revolusioner sekalupun. Contohnya saja perjuangan pemilihan Rektor langsung, toh kawan-kawan mahasiswa sudah sangat puas dengan pemilihan semi langsung dan kedodoran ketika memperjuangkan pemilihan Dekan-Dekan secara langsung di beberapa fakultas. Gerakan mahasiswa Unlam juga begitu tergantung pada figur, ketika aktivis macam Fakhri Wardhani, Donald Simarmata, atau Bierhasani lenyap dari kampus maka perjuangan merekapun terasa mengendur.
Meski begitu kita juga tidak bisa mengabaikan kawan-kawan mahasiswa berprestasi, mereka adalah kunang-kunang di antara ribuan mahasiswa Unlam yang cahayanya samar dan kadang gulita.
Selain mahasiswa, dosen juga sangat menentukan kualitas. Bersyukurlah beberapa tahun terakhir ada banyak dosen yang sudah menyuburkan tradisi ilmiah dengan menulis buku dan mempublikasikannya. Untuk menyebut beberapa nama: Dr. Jumadi, Daud Pamungkas, M.Pd, Sainul Hermawan, M. Hum yang konsisten keakademisannya dengan menerbitkan buku-buku ajar atau Ersis Warmansyah Abbas yang menulis banyak hal di luar disiplin ilmunya. Mereka menandai kebangkitan tradisi penulisan di lingkungan akademisi Unlam. Meski memang, seperti yang sudah pernah saya tulis, masih banyak Dosen yang setia dengan ilmu lama gaya lamanya. Ilmu terus berkembang, mudah-mudahan dosen-dosen Unlam tidak terjebak pada kejumudan intelektualitas.
Itu artinya Unlam masih tertinggal ya? Bagi saya iya –tanpa mengurangi apresiasi saya terhadap kemajuan Unlam sampai detik ini. Bagi saya ruh ilmu pengetahuan, tradisi ilmiah, kekritisan yang merupakan ciri khas kaum intelektual itulah yang memnentukan bermutu tidaknya suatu Universitas. Bukan semata fasilitas (Untuk masalah fasilitas ini sendiri, di Unlam juga masih belum merata. Untuk Hotspot area misalnya, yang konsisten dan eksis sementara adalah FKIP -mungkin segera disusul yang lain-, penulisan buku juga didominasi FKIP)
Maka, di Ulang Tahun yang ke-47 ini, marilah kita sama-sama merenungi nasib Almamater yang kita cintai ini. Mari kita berdoa semoga Allah menurunkan rahmatnya di Universitas ini. Sehingga usaha-usaha kita untuk maju menjadi berkah (asal kita kerjanya bersih). Insya Allah.
Demikianlah. Wallahu’alam.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

astagfirullah,..sbgtukah UNLAM??!!!

knapa terpuruk???!!!

sebenarnya semua hal tersebut tidak hanya terdapat pada UNLAM sendiri.
sekarang kita tengok ke jenjang pendidikan dibawah mahasiswa yang berada di kalimantan selatan.
Ambilah contoh jenjang SMP/SMA, saya bertanya, berapa jumlah siswa kalimantan selatan mengirim naskah untuk mengikuti LPIR?
berapa naskah lomba yang masuk dari siswa kalsel untuk LKIR LIPI, berapa naskah siswa kalsel yang masuk pada lomba2 ilmiah lainnya?

selama 2 tahun berturut2 saya mewakili jawa tengah di kompetensi ilmiah tingkat nasional, hanya sekali saya berhadapan dengan siswa asal kalimantan selatan,dan hasilnya hanya bisa berada di barisan bawah diantara barisan provinsi2 lain semacam jawa timur dan jawa tengah.
sungguh ironis memang, saya yang di sana sebagai warga kalsel yang mewakili jateng pada lomba tersebut sangat miris melihatnya.

dari hal diatas, mari kita renungkan sejenak.
semua hal ini salah siapakah???

tentu kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa.

semua komponen yang ada di kalsel harus segera sadar agar dapat memajukan provinsi kita tercinta.
Mulai dari keluarga hingga komponen pemerintah harus segera berbenah. Segera lakukan berbagai pembinaan kepada mahasiswa kalsel yang berpotensi untuk dapat maju.

GO KALIMANTAN SELATAN
GO SOUTH KALIMANTAN

fakhri'e mengatakan...

Salam Wew..
Aku ga tau, apakah tergantung pada figur/ mungkin karena kegagalan proses pengkaderan juga bisa jadi penyebabnya, namun 1 hal yang pasti pengaruh budaya Pop lah yang paling dominan berperan disini. Hedonisme Culture sudah menjadi darah daging mahasiswa-mahasiswa UNLAM saat ini, di tambah lagi dengan Pimpinan Elit mahasiswa yang sudah menanggalkan empati sosialnya, elit mahasiswa lebih banyak mementingkan kegiatan yang proft di bandingkan yang berhubungan dengan rakyat makanya kejadian seperti apa yang dewew ungkapkan diatas bisa terjadi..
Tetap berjuang wew, Insya Allah UNLAM masih bisa maju. Asalkan orang2 Seperti EWA & beberapa dosen yang dulunya berani membikin GAP dengan petinggi kampus masih ada.
MERDEKA Untuk RAKYAT..
RAKYAT KUASA.