Rabu, Oktober 31, 2007

KONGRES CERPEN INDONESIA V YANG SATIR

Dunia kesastraan Kalsel ternyata tak menjemukan seperti yang biasa terjadi. Kenapa bisa terjadi realitas macam itu? Kenapa dunia sastra Kalsel yang biasanya senyap menjadi hiruk pikuk? Karena Kongres itukah, benarkah karena Kongres Cerpen Indonesia V itu?
Saya cukup merasa diapresiasi oleh panitia kongres Cerpen Indonesia (KCI) V ketika saya yang bukan siapa-siapa ini diundang menjadi peserta, padahal panitianya bisa saja toh tidak mengundang saya. Terimakasih buat panitia.
Awalnya saya sudah membayangkan yang bukan-bukan. Bahwa saya akan menjadi bonsai diantara beringin cerpen Indonesia. Bahwa saya akan menemukan serombongan raksasa jagat cerpen Indonesia di mana saya tiba-tiba merasakan perasaan ABG yang mau bertemu idola. Bahwa para cerpenis seantero Kalsel yang notebene adalah tuan rumah akan hingar bingar memenuhi Taman Budaya Kalsel. Bahwa ruh cerpen akan merasuki benak tiap orang yang ada di Kongres itu.
Ternyata pikiran itu mengejek saya pada akhirnya. Saya menemukan kenyataan yang berbeda. Saya memang menemukan raksasa-raksasa itu, tapi tak sebanyak bayangan saya sebelumnya. Tapi hal itu masih bisa saya syukuri, tak ada momen dalam hidup saya sebelumnya di mana saya akhirnya bisa bertemu dan berbincang dengan cerpenis yang cerpennya tentang jbegitu kuat dalam ingatan saya seperti Agus Noor, atau Mbak Katrin Bandel dengan suaminya Om Saut Situmorang yang begitu eksentrik untuk ukuran urang banjar, atau Pak Ahmadun yang Redaktur Republika itu (seseorang yang membuat saya sering teringat puisi Suluk Komputer-nya jika saya di depan komputer), atau ahli Ronggeng Pak Ahmad Tohari dan istrinya yang low-profile. Buat saya itu luar biasa. Tapi wajar toh jika saya berharap lebih pada KCI yang menasional itu? Berharap saya akan bertemu Seno Gumira yang saya candui, atau Putu Wijaya yang membuat saya menyukai cerpen dengan cerpen-cerpennya, dan banyak lagi cerpenis di jagat cerpen Indonesia. Di mana mereka semua? Mereka mungkin punya agenda sendiri, punya hidup sendiri. Kita yang punya hajatan saja yang mungkin berpikir bahwa KCI V ini begitu penting. He he he.
Lalu tentang hingar bingar cerpenis seantero Kalsel? Mungkin karena tak banyak cerpenis di kelsel maka tak terlalu hingar. Tapi tak juga demikian, peserta sebenarnya seolah-olah banyak, karena tak cuma cerpenis dari Kalsel yang hadir, lebih banyak juga penyair, teaterawan bahkan juga guru-guru. Tapi memang jumlah yang banyak ini menjadi tidak signifikan saat diskusi cerpen. Yang lebih lucu lagi dari jumlah yang sedikit saat diskusi ini sebagian dari mereka punya aktivitasnya masing-masing sehingga ruang diskusi yang pengap karena tak ada AC itu riuh rendah dengan beraneka diskusi sehingga akhirnya semua menjadi begitu lelah. Dan pembicara di depan mungkin menemukan momen mereka sendiri saat mereka seakan-akan bermonolog.
Kongres itu juga memberikan banyak pengetahuan pada saya sebagai si bukan siapa-siapa di jagat sastra Indonesia, saya baru tahu kalau ’perlawanan’ terhadap Komunitas Teater Utan Kayu yang konon kabarnya begitu liberal itu tidak cuma dilakukan oleh aktivis antiliberalisme tapi juga oleh sastrawan karena katanya sastrawan TUK telah menghegemoni dunia sastra. Menjadi rezim. Saya juga baru tahu kalau ternyata Saman-nya Ayu Utami tak begitu bernilai sastra. Saya juga baru tahu bahwa masalah Jakarta-sentris atau Jogja–sentris yang mengamini bahwa masuk ke media nasional adalah jalan terbaik untuk menjadi sastrawan nasional itu ternyata bukan sebuah masalah.
KCI V juga ternyata begitu satir buat saya. Saya menemukan orang-orang yang senantiasa menjadi patron dalam setiap perhelatan seni apalagi perhelatan nasional yang diadakan di kalsel menjadi bukan siapa-siapa di momen ini karena secara alami para cerpenislah yang menjadi patron di sini, menjadi bintang di sini. Kongres cerpen ini menjadi milik cerpenis memang. Hal tersebut di Kalsel tentu saja sangat jarang ditemui, bahkan mungkin takkan ditemukan di momen lain.
Hal satir selanjutnya adalah ketika seorang cerpenis Kalsel berlevel nasional tidak masuk di kepengurusan Komunitas Cerpen Indonesia 2007-2010 (padahal saya orang pertama mungkin yang menebak om saya ini akan menjadi petinggi Komunitas Cerpen Indonesia). Mungkin itu bukan sebuah masalah, tapi buat saya itu adalah hal yang satir dan cukup menarik untuk diceritakan.
Hal satir lainnya, he he he. Ini soal dosen saya yang dia seharusnya mengikuti diskusi-diskusi cerpen dan mengambil banyak manfaat dari diskusi tersebut dalam kapasitasnya sebagai seorang kritikus sastra Kalsel tapi ternyata dia ujug-ujug sebagai panitia (dimana di momen tertentu Beliau ini lebih mirip tukang ojek atau tukang sapu ketimbang panitia).
Siapa menduga momen-momen tersebut hadir di KCI V. Kegiatan ini dalam ukuran peserta luar Kalsel mungkin terasa begitu sederhana begitu juga buat saya pribadi, tapi ada loncatan-loncatan kenangan yang menggelitik untuk terus diingat.
Lalu, bagaimana nasib percerpenan Kalsel pasca KCI V? Apakah semua unsur telah siap untuk saling melengkapi? Apakah media lokal sudah siap menjadi martir bagi produktivitas karya cerpen maupupun kritik cerpen? Mungkin Radar Banjarmsin siap karena mereka menyediakan satu halaman penuh untuk cerpen plus ilustrasi yang dibuat langsung oleh redakturnya yang adem dan memang mewujud sebagai sastrawan juga itu. Bagaimana dengan Banjarmasin Post, Serambi Ummah atau Mata Banua? Keluhan tentang penyunatan isi cerpen itu sepertinya perlu dibenahi. Jangan sampai cerpen dipotong sehingga yang sampai ke pembaca cuma paragraf pertama atau yang terakhir saja dari cerpen itu. Buat saya adalah sebuah kejahatan memotong isi cerpen seseorang apalagi tanpa konsultasi dengan pengarangnya.
Birokrasi yang berenang-renang di bidang seni budaya, siapkah juga untuk menjadi pahlawan dunia cerpen kalsel? Setelah mengadakan KCI V, siapkah kiranya Beliau-beliau ini menyisihkan dana untuk penerbitan karya cerpen maupun kritik cerpen pengarang Kalsel? Apakah telah tersedia sekian ratus juta yang lain untuk cerpen Kalsel?
Sastrawan Kalsel pada umumnya dan Cerpenis Kalsel pada khususnya, sudah siapkah untuk menghidupkan cerpen Kalsel? Sudah siapkah dengan produktivitas karya dan peningkatan kualitas karya? Jika gejala cerpen Kalsel melihat bahwa perempuanlah yang merajalela, mungkin juga sudah saatnya laki-laki juga bersiap untuk ‘setara’ dengan perempuan. Para kritikus sastra Kalsel sudahkah keluar dari lubang persembunyiannya (karena Belanda masih jauh tenyata, he he he) dan mulailah mereka membicarakan karya cerpenis Kalsel. Menyuburkan tradisi kritik cerpen di Kalsel karena ujar seseorang, karya itu akan jadi besar jika dibicarakan. Seseorang itu juga bilang, karya-karya sastrawan ‘muda’ belum tentu tak sebermutu sastrawan yang sudah lawas, bedanya cuma, sastrawan-sastrawan terkenal itu tiap mereka menghasilkan karya selalu dibicarakan. Berkorbanlah untuk perkembangan cerpen Kalsel wahai kritikus, kritiklahpara cerpenis itu..
Dan para penikmat cerpen di Kalsel, Sudahkah menyukai cerpen? Sudahkah membaca karya cerpenis Kalsel? Sudahkah memperbanyak diri? Sudahkah menjadi signifikan?

Sudahkah semua berada di posisinya masing-masing?
KCI V sudah lewat, tapi semoga pihak yang diamanahi sebagai pengurus KCI bisa amanah menunaikan tugasnya untuk menjadikan dunia cerpen Kalsel lebih baik, khususnya Zulfaisal Putra yang menjabat sebagai Ketua I yang merupakan representasi dari Kalsel. Semoga dia bisa bekerja untuk kepentingan cerpen Indonesia dan khususnya cerpen Kalsel. Semoga kelak ia dikenang sebagai pihak yang membesarkan karya cerpen di Kalsel. Karena jika tidak, maka mungkin yang merasa berhak untuk ada di jabatan dia sekarang, akan murka.
Demikianlah.Wallahu’alam bishawab.

0 komentar: